Ada suatu daerah di Jawa Tengah yang mayoritas berkultur nahdliyin (NU). Penduduk setempat sehari-sehari mengamalkan amaliah NU seperti tahlilan, qunut, wirid dan lain-lain. Aktivitas organisasi NU dan banom-banom-nya pun tumbuh subur termasuk banom pelajarnya, IPNU (Ikatan Pelajar NU).

Alkisah, di daerah tersebut, ada satu keluarga yang baru saja kehilangan sang ayah. Sebelum meninggal, si ayah tersebut berpesan kepada istrinya agar menjaga Nanang (bukan nama sebenarnya) putra semata wayangnya yang baru duduk di kelas X madrasah aliyah agar tetap berpegang pada ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah dan tidak terpengaruh teman-temannya dari kota yang sering mengajaknya ikut pengajian sel tertutup seperti yang seringkali dipraktekkan kaum muda Islam di perkotaan. Intinya, sang ayah berpesan agar putranya tersebut dapat mengikuti jejaknya menjadi aktivis NU dengan bergabung ke IPNU.

Menjelang tahun ajaran berakhir, tiba-tiba Nanang bertanya pada ibunya, ”Bu, aku mau naik ke kelas XI Aliyah, tapi aku bingung dengan pilihanku, masuk IPA atau IPS ya?”.

Sang ibu pun menjawab, ”Ora usah bingung-bingung le, ingat pesan bapakmu dulu, ora usah melu (ikut) macam-macam, IPA atau IPS, melu IPNU aja le”, tandas sang Ibu. Lho??[]

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), tulisan ini telah terbit di gusmus.net (2017)