Dari Khitah NU yang berlandaskan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah kemudian  dirumuskan  ideologi NU didukung dengan  pengalaman kesejarahan NU sendiri. Ideologi NU adalah kebangsaan yang berorientasi kerakyatan  yang menjunjung  tinggi nilai toleransi dan  keadilan. Rumusan ideologis semacam  ini masih  harus  dielaborasi agar  lebih bersifat operasional. Ideologi yang demikian itu yang masih mungkin untuk disempurnakan. Bukan tidak mungkin akan memiliki peluang tampil sebagai  ideologi alternatif.

Watak ideologi NU yang berorientasi kerakyatan bisa menjadi kontrol utama bagi  kecenderungan ideologi yang elitis dan oligarkis. Tidak bisa dipungkiri, NU sangat  membutuhkan kader yang handal yang memahami nilai dasar NU. Memiliki wawasan luas, komitmen kuat, kecakapan teknis organisasi. Penanaman nilai dasar NU penting dilakukan agar   kader memiliki kemampuan memahami nilai-nilai dasar pergerakan.

Juga memiliki pandangan keagamaan yang pluralis dan bersikap toleran. Hal ini sangat  penting ditekankan  karena prinsip dasar  dikembangkannya agama  Islam menjunjung tinggi  nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Perlu pula memiliki keterampilan managerial.

Pola distribusi kader dalam NU sama  dengan  pola jejang pengkaderan dalam tubuh  NU, mulai IPNU-IPPNU, GP Ansor, Fatayat,  dan Muslimat bahkan untuk lembaga yang lain dipengaruhi  oleh minat dan bakat kader, selain itu pola jenjang pengkaderan dipengaruhi  oleh umur.

Hanya  dengan  organisasi  yang  teratur  dan  solid, visi dan misi bisa dikembangkan secara  masif. Bersamaan dengan itu ideologi NU harus benar-benar dirumuskan untuk tujuan operasional yang  lebih nyata  dalam kehidupan.

Seorang kader diharapkan memiliki dua hal. Pertama, wawasan dasar yang meliputi kemampuan menganalisa perkembangan sosial, politik dan ekonomi. Memiliki kemampuan mengartikulasikan perkembangan situasi sosial politik. Ini penting agar kader mampu  mengambil posisi strategis dan  jauh  dari benturan kepentingan di antara  kekuatan  kapitalisme global. Mampu melakukan analisa historis dan  sosiologis terhadap perkembangan Aswaja, kesadaran kosmologis NU, dan analisa filosofis terhadap epistemologi serta proses pembentukan ideologi.

Kedua, kader yang dibutuhkan muntlak memiliki  kecakapan teknis. Kecakapan teknis yang dimaksud antara lain menguasai  dasar perjuangan NU. Memiliki kemampuan melakukan analisa terhadap situasi dan memiliki kemampuan menggerakkan organisasi dan massa.

Pada  dasarnya kader  adalah kelompok aktivis-intelektual NU yang mengemban tugas serta    bertanggung jawab atas kontribusi organisasi terhadap kebijakan publik yang menyangkut  pengembangan pemuda dan  pelajar. Segmentasi pengembangan pemuda dan  pelajar sebenarnya memberikan ranah yang jelas terhadap komprehensifitas NU pada setiap ritme  gerakannya. NU yang dinamis memberikan peluang seluas-luasnya untuk mengakomodasi setiap matra kehendak yang harus disalurkan pada model-model kegiatan yang bersifat kontributif langsung terhadap kebutuhan NU.

Lantas bagaimana seharusnya figur kader yang baik? Kader tidak  lain  adalah  kader   yang  dibutuhkan NU. Menyadarai bahwa NU sebenarnya membutuhkan banyak sekali kader maka spesifikasi kader harus diketengahkan ke arah mana kader seperti IPNU-IPPNU dan badan  otonom lainnya bisa memberikan kontribusinya kepada NU. Di sini kader muntlak memiliki minimal dua orientasi, struktural dan keahlian. Struktural berarti kader dipersiapkan untuk menyongsong estafet kepemimpinan NU di semua tingkatannya.

Sementara orientasi keahlian berarti bahwa kader harus memiliki kecakapan yang bisa  dikontribusikan  langsung kepada NU, masyarakat, bangsa dan negara. Kebutuhan untuk  memunculkan kader-kader yang memiliki keahlian dan konsentrasi langsung dengan  segmen kebutuhan NU dan masyarakat pada umumnya sangat mendesak.

Kita menyadari mayoritas warga NU adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian,   maka IPNU-IPPNU/badan otonom  lainya membutuhkan kader yang memiliki keahlian di bidang pertanian. Ketika NU bermaksud mengawal tanggung jawab dan program politik  kebangsaan, kerakyatan dan kemaslahatannya, maka NU membutuhkan kader politik yang  bisa  disuplai oleh badan otonom. NU lahir dari  rahim pemikiran  dan  perjuangan ulama. Maka NU pun  sebenarnya membutuhkan kader  ke-ulama-an  yang  bisa  dilahirkan  oleh IPPNU/badan otonom  lainya. Di atas  semua  kebutuhan yang ada kebutuhan minimal kader IPPNU sebanyak  yang tercermin dalam struktural NU, badan  otonom dan lajnahnya ketika harus dilakukan distribusi kader di dalamnya.

Semua  ideal di atas harus  dipertajam  dengan  mekanisme kaderisasi IPNU-IPPNU secara lebih sistematis, terpadu, dan berkesinambungan sehingga mampu menghasilkan kader yang  diidealkan NU sebagai organisasi induknya. Kaderisasi tidak mungkin lagi dilakukan secara kultural. Karena kaderisasi model ini berakibat terjadinya parsialitas dan disorientasi kader, tumpah tindih struktural dan stagnasi program  kerja.