Dinamika pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia ternyata tidak benar-benar bersifat lokal, tetapi memiliki akar yang jauh di negeri asalnya; tanah Arab. Kemunculannya juga tidak tiba-tiba, melalui proses sejarah yang panjang, di situ ada continuity dan change. Ini juga menunjukkan pentingnya menggunakan perspektif sejarah dalam melihat berbagai pemikiran yang berkembang, karena bagaimanapun itu memang merupakan fenomena sejarah.
Para pengamat dan peneliti pemikiran Islam di Indonesia, baik dari dalam negeri maupun dari asing umumnya bertitik tolak dari kategori dasar “tradisionalis” dan “modernis” dalam memetakan gerakan pemikiran Islam, meskipun dengan penjelasan yang bervariasi. Dari dua pemikiran itu kemudian berkembang varian-varian baru. Dari pemikiran tradisionalis kemudian berkembang menjadi neo-tradisionalis yang mencoba melakukan pembaruan atas tradisi seperti dilakukan Abdurrahman Wahid, dan post-tradisionalis yang melakukan kritisisme atas tradisi, mengadopsi metode pemikiran modern dengan tetap menggunakan tradisi sebagai basis transformasi.
Sementara dari kelompok modernis lahir neo-modernisme yang diwakili tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Syafi’i Ma’arif yang kemudian bermetamorfosis menjadi pemikiran Islam liberal. Namun pemikiran ini juga memunculkan suatu gerakan Islam yang bercorak fundamentalis dan neo-fundamentalis. Karakteristik beberapa mode pemikiran tersebut akan dijelaskan secara umum berikut ini:
Neo Tradisionalisme
Dalam konteks pemikiran Islam Indonesia, pemikiran neo- tradisionalisme (Neotra) biasanya didentikkan dengan Gus Dur. Sekalipun demikian bukan berarti Gus Dur hanya Neotra, karena kenyataanya, ia juga inspirator sekaligus pegiat neo- modernisme, post-tradisionalisme, bahkan Islam liberal.
Sebagai pemikiran yang bertolak dari tradisi, neo- tradsionalisme melihat bahwa Islam selaras dengan perkembangan kebudayaan lokal, sehingga sangat menghargai multikulturalisme. Neo-tradsionalisme cenderung pada kebudayaan lokal di mana Islam berkembang (living). Kebudayaan Arab juga lokal sehingga Islam Arab semata-mata merupakan ekspresi kebudayaan orang Arab, bukan Islam itu sendiri.
Di samping itu, Neotra cenderung berpandangan dan bersikap inklusif (terbuka) atas realitas sosial. Lebih jauh, neotra melihat bahwa Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang penting bagi Islam adalah etika kemasyarakatan. Alasannya, Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif.
Begitu juga dalam hal suksesi kekuasaan, Islam tidak memiliki bentuk tetap. Terkadang memakai istikhlaf, bai’at (pengangkatan), dan ahli halli wal aqdi. Karena itu, dalam hubungan ini pendirian negara Indonesia lebih disebabkan oleh kesadaran berbangsa. Bukan hanya karena faktor ideologi Islam. Ini merupakan kenyataan yang harus diterima secara objektif karena masih dalam kaca mata Neotraisionalisme, kenyataan objektif demikian masih belum seluruhnya dipahami sebagian aktivis pergerakan Islam di Indonesia.
Islam sebagai komponen yang membentuk kehidupan bernegara seharusnya berperan secara komplementer bagi komponen-komponen lain. Dengan begitu, Islam tidak berfungsi sebagai faktor tandingan yang dapat mengundang disintegrasi dalam kehidupan berbangsa.
Untuk itu, umat Islam Indonesia harus dapat menerima kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas objektif dan tidak perlu dipertentangkan. Apalagi, bila mengingat alasannya bahwa Indonesia merupakan suatu nation yang punya pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan asal- muasal Islam di Arab Saudi.
Karena itu, Gus Dur tidak sependapat kalau proses islamisasi di Indonesia diarahkan pada proses Arabisasi. Mengapa? Karena itu hanya akan membuat tercerabutnya masyarakat Indonesia dari akar budaya sendiri. Inilah yang oleh Gus Dur disebut sebagai ”pribumisasi Islam”. Pribumisasi Islam bukanlah jawanisasi atau sinkretisme. Sebab, pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma demi budaya. Tetapi, agar norma-norma itu menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketentuan) dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan kaidah fiqh.
Neo Modernisme
Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia.Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti gejala baru atau pembaruan yang belakangan disebut “neo-modernisme”.
Sosok Nurcholish Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo- modernisme Islam Indonesia di kemudian hari. Neo-modernisme lebih menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis.
Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.
Melihat kerangka pikir ini, maka wajar jika orang kemudian menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Rahman dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia.
Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia, termasuk Syafi’i Ma’arif, sempat berhubungan dan berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di negeri ini.
Secara umum neo-modernisme Islam bisa dicirikan sebagai berikut:
- neo-modernisme Islam merupakan gerakan kultural- intelektual yang muncul untuk melakukan rekontruksi internal pada umat Islam dengan merumuskan lagi warisan Islam secara lebih utuh, konprehensif, kontekstual dan universal.
- pada prinsipnya neo-modernisme muncul sebagai tindak lanjut atas usaha-usaha pembaru kelompok modernis terdahulu, yang karena keterbatasan-keterbatasan tertentu masih meninggalkan sejumlah masalah yang belum bisa diatasi.
- dalam konteks keindonesiaan, kemunculan gerakan neo- modernisme Islam lebih merupakan kritik sekaligus solusi atas pandangan dua arus utama yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis yang selalu berada dalam pertarungan konseptual yang nyaris tidak pernah usai. Neo-modernisme Islam hadir untuk menawarkan konsep-konsep pemikiran yang melampaui kedua arus utama tersebut.
- kemunculan neo-modernisme Islam di Indonesia wacana awal gerakan modernisasi dalam arti rasionalisasi, yaitu merombak cara kerja lama yang tidak aqliyah. Pembaruan menyentuh wilayah yang luas, baik itu persoalan keagamaan, sosial-politi, bahkan masalah pendidikan.