“Pembagian peran pelatih itu sangat diperlukan, agar pelatihan berfungsi efektif dan doktrin keorganisasian dapat disampaikan dengan tepat dan mengena” (Muhammad Fauzi, Ketua PC IPNU 2013-2014)

Ujung tombak dalam kaderisasi di IPNU-IPPNU salah satunya diperoleh dari pengkaderan formal berjenjang mulai dari paling dasar berupa Orientasi, Makesta, Lakmud dan Lakut-Latin. Pengkaderan formal ini jika tidak dikelola dengan baik, maka hasil yang dicapai sering tidak sesuai dengan harapan. Sehingga banyak kejadian dari pelatihan 80-an orang, yang aktif pascapelatihan tidak lebih dari 5 orang. Lantas apa yang salah? Pada banyak kesempatan sebenarnya tidak ada yang salah, hanya mungkin beberapa komponen inti sering diabaikan selama pelatihan formal. Pelatihan yang seharusnya meningkatkan SDM dan pengenalan/pemantapan anggota terkesan hanya menjadi program rutin tanpa ruh.

Apa saja komponen inti yang kadang diabaikan? Berikut sedikit ulasannya:

1. Doktrin

Doktrin yang dimaksud di sini adalah penanaman loyalitas kepada organisasi, penanaman kebenaran akan materi yang disampaikan dan pelatihan yang diikuti. Banyak dari panitia maupun pelatih (untuk tulisan ini fasilitator/instruktur digeneralkan menjadi pelatih) ingin agar peserta keluar dari kawah candradimuka (Makesta/Lakmud misalnya) menjadi kader yang militan dan siap untuk diterjunkan dalam pengabdian, namun selama proses pelatihan doktrin yang ditanamkan kurang. Banyak juga yang menganggap bahwa doktrin hanya ditanamkan saat renungan malam, caraka malam atau nama lain dari hal tersebut. Padahal sejak pembukaan hingga penutupan acara, doktrin harus ditanamkan terus menerus dengan berbagai cara, sehingga peserta benar-benar yakin bahwa apa yang akan diikutinya (IPNU-IPPNU) adalah pilihan terbaik dan tepat. Bagaimana proses doktrinisasi awal hingga akhir? Ini masih menjadi PR kita bersama.

2. Peserta

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa panitia maupun pelatih lebih suka dengan jumlah peserta yang banyak dan heterogen, bahkan menabrak aturan, daripada jumlah peserta seadanya namun berpotensi militan. Banyak yang beranggapan bahwa kesuksesan acara ditentukan dari jumlah pesertanya, meskipun dibatasi, namun batas yang ditentukan bukan batas ideal. Misalnya dalam teori-teori pendidikan, maksimal dalam satu ruangan antara 20 – 30 peserta, lain halnya dengan banyak kejadian, satu ruangan untuk 60-100 peserta, ketika ditanya bagaimana? banyak yang menjawab, biarkan saja, semakin banyak semakin baik :-), ada lagi aturan peserta yang ditabrak yakni mengikutkan anak-anak tingkat MI/SD untuk ikut Makesta misalnya, jawabannya pasti bermacam-macam seperti lebih baik dikenalkan sejak kecil dan sebagainya, ini bukan masalah dikenalkan sejak kecil, namun lebih ke efektivitas dan efisiensi.Pengenalan sejak kecil dapat dilakukan dengan cara lain, bukan pelatihan formal. Lantas bagaimana skema pelatihan untuk peserta dengan jumlah besar? Ini masih menjadi PR kita bersama lagi.

3. Pelatih

Istilah sekarang instruktur, fasilitator dan sebagainya. Di sini yang dibahas adalah SDM dan kualitas pelatih yang sangat menentukan output awal peserta pelatihan. Banyak kesempatan, asalkan lulus Lakmud boleh melatih Makesta, bahkan baru lulus Makesta melatih Makesta, padahal seorang pelatih harus lulus di pendidikan/pelatihan pelatih sebagai salah satu tanda keahlian yang dimiliki. Kebiasaan yang penting ada orangnya (asal comot) inilah yang turut menentukan kemerosotan militansi kader dan kualitas SDM kader di bawahnya pascapelatihan. Lantas bagaimana? Melaksanakan pelatihan/pendidikan pelatih atau agenda-agenda upgrading sesering mungkin lebih baik daripada SDM pelatih yang asal-asalan. Ingat, pelatih itu bukan hanya bertugas menghibur (ice breaking) peserta dan menguasai berbagai tepuk-tepuk, tapi lebih dari itu pelatih adalah sentra pengendalian mutu pelatihan, materi dan doktrin, sehingga kemampuan yang dimiliki pelatih harus kompleks, maka acara-acara semacam upgrading perlu sering dilakukan. Kemudian bagaimana meningkatkan SDM pelatih lebih baik?  Ini masih menjadi PR kita selanjutnya.

4. Sistem Kepelatihan

Sistem kepelatihan yang dimaksud di sini adalah rencana pelatihan yang akan dilaksanakan dari awal hingga akhir, bukan asal-asalan atau dadakan, bukan pula tanpa ilmu pengetahuan dan wawasan. Untuk membentuk sistem kepelatihan yang berjalan efektif selama pendidikan, maka perlu rencana yang matang, sesuai dengan kondisi dan situasi tempat pelatihan, sesuai dengan keadaan peserta pelatihan dan berbagai aspek lain, sehingga pelatihan berjalan optimal. Bagaimana merancang sistem pelatihan yang mumpuni?  Ini juga masih menjadi PR kita ke depan.

Semoga bermanfaat..!!

Penulis: Wahyu Irfana (tulisan ini telah terbit di pelajarnungronggot.or.id)