Tuhan menciptakan bumi dan alam semesta dengan segala isinya, mengaturnya sedemikian rupa agar layak untuk kehidupan manusia. Dari uraian ini saja, sah-sah saja andai saya mengatakan bahwa manusia adalah tujuan akhir penciptaan bagi Tuhan.
Kita ini masterpiece-nya Tuhan, ciptaan terbaiknya Tuhan. Sangat istimewa, bukan?
Manusia, tercipta sebagai individu sekaligus person. Manusia bersifat individualitas karena memiliki hal yang lain menurut materialnya, berupa badan. Segi material ini tercipta kasat mata, atau lebih tepatnya jelas dengan panca indera manusia. Seperti halnya tubuh ataupun suaranya. Dari segi material inilah manusia bisa dikatakan sebagai makhluk individu, tidak terbagi, satu organisme yang tunggal. Lagi-lagi, terciptanya manusia ini saya katakan istimewa.
Dari segi person-nya, keunikan manusia ini disebut keunikan spiritual (terdapat jiwa pada material manusia). Antara individu dan person ini sama rata, tidak bisa dipisahkan apalagi menimbulkan perlawanan. Jadi, dalam diri manusia itu ada dua potensi sekaligus, dan antara kedua potensi itu saling menentukan sebagai wujud dan gaya.
Manusia tidak akan menjadi individu jika tanpa adanya person, dan manusia tidak akan menjadi person tanpa ada kaitannya dengan individu. Sebab dalam kehidupan ini, manusia memiliki kedua hal tersebut: individu dan person.
Kebutuhan hidup akan menyebabkan manusia mampu berkomunikasi dengan manusia lainnya, individu satu berkomunikasi dengan individu yang lainnya. Sehingga satu organisme utuh manusia—terdiri dari individual dan personal—akan menyatu dengan satu organisme utuh manusia lainnya. Dan pada akhirnya nanti, terdapat kelompok atau bahkan bermunculan manusia baru lewat hubungan intim antar manusia.
Selain bersifat diciptakan oleh Tuhan (diadakan oleh Tuhan), manusia juga bersifat saling mengadakan. Dalam artian, manusia satu menampakkan diri ke manusia lain, lalu ia memahaminya, berbicara, dan berbahasa (berkomunikasi). Seperti contoh, ”Aku membutuhkan pengakuan oleh kamu, dia, mereka, dan yang lainnya.”
Manusia mengadakan dirinya sendiri bersama dengan mengadakan yang lain. Ia mengkomunikasikan dirinya sendiri kepada yang lain. Menyampaikan “aku”nya sebagai substansi kepada yang lain. Saling mengadakan dan menimbulkan adanya relasi inilah awal mula munculnya komunikasi antara manusia.
Manusia tidak bisa memunculkan manusia lain (menikah atau melahirkan) tanpa adanya komunikasi. Sebab dengan komunikasi, manusia melakukan hubungan timbal balik. Entah itu berupa pernyataan cinta, menikahi, dan akhirnya melahirkan. Yang satu sebagai subjek, dan manusia lain sebagai partnernya.
Semua fitrah yang dimiliki manusia adalah sumber kebahagiannya. Apabila diwujudkan di jalur yang sesuai dengan porsi dan proporsinya, akan menjadikan manusia adalah makhluk yang mulia. Seperti halnya fitrah “berketurunan” yang akan membuahkan kebahagiaan apabila diwujudkan dengan jalan pernikahan.
Wallohu a’lam.
–