Analisa fenomena menjamurnya diskusi dan kajian online patut dicermati. Pemanfaatan teknologi untuk kegiatan semacam ini tentu tidak lepas dari situasi pandemi virus corona yang semakin merajalela. Sehingga, kegiatan berbasis daring (online) dirasa cukup efektif saat kegiatan organisasi tidak lagi berjalan dengan normal. Khususnya, saat ada larangan mengerahkan massa dalam jumlah besar, sehingga tidak lagi bisa berkumpul mesra, eh.

Pengurus organisasi, baik komunitas maupun organisasi pengkaderan, perlu menyesuaikan diri. Melihat jeli potensi, baik anggota, kader, maupun alumni. Fungsinya, untuk mengisi kegiatan sehingga tidak sampai sepi, sunyi dan merana sendiri, jomblo lagi, duh.

Padahal situasi pandemi dapat menjadi momentum untuk berkreasi. Bayangkan saja, biasanya bikin kegiatan butuh biaya mulai dari 100 ribu sampai hampir sejuta. Namun dengan kegiatan yang berbasis online, hanya bermodal dengkul dan cukup numpang jaringan wifi tetangga atau kader yang punya wifi, lalu kegiatan sudah jalan.

Murah sekali, efisiensi seperti ini seharusnya menjadi motivasi pengurus untuk tetap memberikan pendidikan terhadap kadernya. Ingat, kesuksesan organisasi pengkaderan tak hanya diukur dari banyaknya berapa kali kegiatan kaderisasi formal dikerjakan. Namun bagaimana mengeksplorasi potensi masing-masing kader yang sudah ada, pada kegiatan kaderisasi non formal dan informal.

Patut menjadi bahan perhatian, bahwa hak anggota adalah mendapat porsi belajar dan mengembangkan diri, sekaligus PR semacam ini dapat menjadi tugas mulia bagi pengurus dalam belajar, belajar memanajemen potensi dan hati anggotanya.

Potensi kajian online juga dapat dianalisa dari banyaknya forum virtual di berbagai lembaga, baik lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, bahkan elemen pemerintah. Minat peserta juga besar, sebagai pengisi kekosongan waktu santai merebahkan diri dengan sajian pemaparan materi yang sangat mudah diakses cukup dengan ponsel.

Namun, ada juga yang perlu dicermati, agar kegiatan yang telah dilakukan tidak selesai begitu saja. Artinya kegiatan banyak, namun hasilnya Nol.

Beberapa hari lalu ada Diskusi Online via Watssapp Group (WAG), oleh LKPT IPNU Nganjuk dengan mengundang Ketua 1 PP IPNU Bidang Organisasi, Gus Hasan Malawi. Menariknya, salah satu pertanyaan muncul terkait keefektifan kegiatan online yang dianggap oleh penanya masih bersifat Event Organizer (EO) oriented. Artinya hanya berorientasi pada penyelenggara saja, yang menginginkan kuantitas peserta banyak.

Harus jeli, membuat kegiatan semacam itu memang murah namun bagaimana dengan manfaatnya. Tentu poin utama adalah eksistensi organisasi, namun ada yang tak kalah penting.

Pemateri Gus Hasan Malawi dari PP IPNU menjawab, diskusi dan kajian sebagai skema pemberdayaan yang bersifat kaderisasi non formal yang dapat mendukung kaderisasi informal dan formal. Serta dapat mendorong potensi kader khususnya bidang jurnalistik, riset, dan praktisi.

Sehingga, seminar untuk mempertajam pengalaman dan mental kader. Dari sisi peserta, harus sesuai kebutuhan, peserta diakomodir tidak harus banyak namun efektif sesuai skema pemberdayaan yang direncanakan. Gus Hasan Malawi juga mewanti-wanti agar mempertajam pemberdayaan kader, bukan sekedar ceremonial yang tak terukur hasilnya.

Tentu melihat kapasistasnya, jawaban tersebut bukanlah jawaban receh. Sebab kegiatan non formal dari sebuah organisasi dapat menjadi tolok ukur pergeseran nilai organisasi. Semakin banyak ceremonial, maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik, khususnya dalam meningkatkan kapasitas kader.

Jika ini dipahami sebagai sesuatu yang terlalu rumit, maka sederhanakan pola pikir saja. Kegiatan belum jalan tidak usah perlu terlalu rumit memikirkan sukses-tidaknya. Jalankan saja dulu, eksiskan saja dulu, baru evaluasi bagian mana saja dari kegiatan online yang telah jalan, perlu perbaikan dan pembenahan.

Selamat berproses.[*]


Penulis : Moh. Maftuhul Khoir