Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU telah menorehkan catatan gerakan syiar keagamaan, gerakan kebangsaan dan kenegaraan, gerakan sosial kemasyarakatan maupun sebagai gerakan pemikiran.
NU, yang notabene adalah organisasi yang didirikan oleh para alim ulama, adalah wadah bagi penerus cita-cita para ulama terdahulu yang berupaya mengembangkan dan menyebarluaskan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Bila dilacak secara runtut dari sisi historis dan kultural, dari awal mula dideklarasikannya faham Ahlussunnah Wal Jamaah oleh Abu Musa Al Asy’arie di masa berakhirnya kepemimpinan Khulafaurrasyidin hingga dideklarasikannya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada tahun 1926 oleh para ulama yang dimotori oleh Hadratusyekh K.H. Hasyim Asy’ari, maka sampai kini faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang menjadi dasar teologi organisasi NU telah mengalami perjalanan yang amat panjang dan tetap eksis hingga kini.
Dan sebagai sebuah organisasi massa Islam terbesar di dunia, NU juga adalah asset penting yang mempunyai sumbangan nyata bagi eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia dari masa ke masa. Sedikit dari beberapa bukti tentang hal itu dapat dicontohkan dengan banyaknya lembaga pendidikan pesantren yang telah didirikan dan dikelola oleh para ulama NU yang sampai kini telah mencapai ribuan jumlahnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
PESANTREN, LEMBAGA PENDIDIKAN TERTUA DI INDONESIA.
Secara historis, sejarah panjang perjalanan lembaga pendidikan pesantren tidak terlepas dari taktik dan strategi para penyebar Islam generasi pertama di pulau Jawa yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo.Metode pengajaran model pesantren adalah warisan dari para wali yang saat itu tengah berupaya mendidik masyarakat pesisir pulau Jawa dengan dasar-dasar keilmuan agama Islam.
Berbeda dengan metode pengajaran pelajaran keagamaan seperti yang sudah berjalan di tempat asal agama Islam berasal, di jazirah Arab dengan metode keilmuan yang lebih sistematis dan terlembaga (masa kedatangan para wali generasi pertama ke tanah Jawa adalah masa di mana peradaban Islam telah melewati masa kejayaannya dengan salah satu produk peradabannya adalah banyaknya universitas-universitas di kota-kota utama negara-negara Arab seperti Mekah, Madinah, Kuffah, Baghdad, Iskandariah maupun yang paling terkenal adalah Universitas Al-Azhar di kota Kairo, Mesir), maka model pengajaran pesantren generasi awal adalah metode pengajaran sederhana dengan pendekatan setahap demi setahap sang guru kepada para muridnya.
Situasi sosial-politik dan kondisi geografis pulau Jawa era keruntuhan kerajaan Majapahit pada waktu itu, ditambah masih kuatnya kepercayaan sinkretisme (percampuran berbagai macam pengaruh kepercayaan dan agama) seperti Animisme, Hindu dan Budha yang masih mengakar kuat, belum memungkinkan para wali untuk membangun lembaga pendidikan keagamaan yang mengikat, ketat, disiplin dan sistematis dengan dasar disiplin ilmu-ilmu tertentu seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan yang sudah mapan seperti yang ada di negara-negara Arab.
Namun setahap demi setahap, seiring bertambah kuatnya pengaruh ajaran para wali di tengah masyarakat Jawa yang kemudian melahirkan banyak sekali para ulama, maka berkembang pula model pengajaran para ulama kepada para murid-muridnya dengan memakai pola-pola pengajaran tertentu.Para ulama di Jawa disebut dengan kyai.Dan para muridnya sering disebut santri.
Khusus mengenai pengertian kata santri, dapat dimaknai secara lebih sempit dan secara lebih luas.Secara sempit, makna santri adalah “seorang murid sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren”. Dalam hal ini, santri difahami sebagai pelajar agama yang mempunyai ikatan utama yang kuat dan mengakar dengan kyai-nya di pondok.
Dan secara makna lebih luas, makna santri adalah “bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang secara khusyuk, pergi ke masjid setiap hari Jum’at dan sebagainya,” (Clifford Geertz: Abangan, Santri dan Priyayi. 1960. Pustaka Jaya-Jakarta) Dari pengertian kata santri itulah, maka kemudian lahir istilah pesantren yang kemudian berkembang luas menjadi istilah umum yang dapat diterima dan berkembang di mana- mana sebagai istilah tempat anak-anak muda mencari ilmu pengetahuan.
Sesuai dengan konteks zaman, era penyebaran jumlah pesantren yang mengalami pertumbuhan amat pesat di era jaman penjajahan Belanda adalah karena pada saat itu, pesantren merupakan lembaga pendidikan satu-satunya yang ada. Model pendidikan lain yang ada waktu itu, hanya terdapat di kalangan wilayah keraton yang sifatnya feodalistik, eklusif dan elitis, karena hanya terbatas pendidikan para keluarga keturunan raja oleh para pujangga yang tinggal di istana (Greg Barton: Biografi Gus Dur. Lkis-Jogjakarta).
Pondok pesantren terlahir dari keinginan para ulama untuk mendidik para muridnya yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Di samping sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga dijadikan sebagai basis perlawanan ulama dan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Oleh sebab itu, maka sejarah pesantren juga adalah sejarah perlawanan utama rakyat Indonesia terhadap kekuasaan atau oposisi paling depan melawan hegemoni kekuasaan kolonial Belanda.
Perlawanan pesantren terhadap bangsa penjajah paling nyata adalah ketika masa perang kolonial paling dahsyat terjadi di bumi Nusantara, yaitu Perang Diponegoro atau terkenal dengan sebutan Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Pada masa itu, Pangeran Diponegoro yang notabene adalah berasal keluarga keraton, sedari kecilnya memilih menjauh dari lingkungan keraton yang penuh kemewahan untuk hidup bersahaja sambil menimba ilmu keagamaan dan tinggal di pesantren sederhana milik neneknya di daerah Tegalrejo.
Seratus tahun lebih kemudian, ulama pesantren mencatat sejarah gemilang dengan keluarnya fatwa jihad oleh pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ ari, yaitu fatwa wajib berperang bagi penduduk kota Surabaya dan sekitarnya melawan pasukan Sekutu yang diboncengi pasukan NICA Belanda. Pengaruh fatwa itu kemudian melahirkan peristiwa perang paling hebat dan fenomenal dalam sejarah berdirinya negara Republik Indonesia yaitu perang Surabaya 1945.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini, dari satu sisi kultur pesantren masih mempertahankan kultur kritis, inklusif, oposan dan dekat dengan rakyat kebanyakan. Semangat pesantren di satu sisi adalah semangat pembelaan kaum lemah, kaum kecil yang selalu kalah dan menjadi korban ketidak-adilan penguasa.Hal itu sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan semangat ajaran amar ma’ ruf nahi munkar serta Islam sebagai agama keadilan dan agama yang dipahami sebagai rakhmat bagi semua alam atau rakhmatan lil alamiin.
Bila ditinjau dari uraian tersebut, pondok pesantren adalah sumbangan amat besar yang telah diberikan oleh para ulama kepada bangsa.Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia sekaligus sebagai basis perjuangan fisik di masa kolonial dan lembaga pendidikan Islam yang selalu mengadakan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas.
PESANTREN: EMBRIO GERAKAN KULTURAL DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA.
Sepanjang sejarahnya, pesantren mengambil peran menjaga jarak dengan penguasa.Ulama-ulama terdahulu sengaja mendirikan pesantren di tengah-tengah masyarakat yang jauh dari pusat pemerintahan.Mereka ada di kampung-kampung yang menyatu dengan masyarakat, karena sudah menjadi kodratnya, para penguasa selalu berjarak dan cenderung menindas rakyatnya.Keadaan seperti itu menyebabkan para ulama dan santrinya di pesantren masing-masing begitu menyatu dengan rakyat kebanyakan.
PESANTREN: Produk-produk Budaya baru
Nilai-nilai keagamaan berdasarkan penafsiran terhadap teks-teks kitab klasik (lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning, karena kertasnya yang berwarna kuning) yang sehari- harinya digeluti dan menjadi pegangan utama para ulama dan santrinya, pada akhirnya mau tidak mau bersentuhan dengan realitas kehidupan, adat-istiadat serta budaya masyarakat yang tidak terlepas dari nilai-nilai budaya lokal di mana masyarakat itu bertempat. Keadaan seperti ini, pada akhirnya memaksa para ulama mengambil nilai-nilai kearifan dengan cara menyesuaikan hukum-hukum fikih yang sudah baku dengan nilai-nilai baru yang bersentuhan langsung dengan persoalan hidup sehari-hari yang telah menjadi tradisi.
Maka, muncullah terobosan-terobosan baru hasil kajian para ulama yang melahirkan produk-produk budaya baru pula sebagai sintesa antara kaidah-kaidah keagamaan dan produk budaya lokal yang telah terlebih dulu eksis.Berangkat dari kearifan penafsiran kaidah yang amat terkenal di kalangan kaum nahdliyin, yaitu kaidah “Al-muhafadzatu ‘ala-al qadim al- shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlakh” (memelihara tradisi yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik), maka para ulama pesantren selalu berfikir kritis, dinamis dan progresif dalam menghadapi problema sosial kemasyarakatan yang ada.
Ritual turun-temurun yang telah berakar di masyarakat seperti ritual selamatan misalnya, adalah hasil kajian untuk menyiasati hukum yang semula adalah budaya Hindu Budha, kemudian dimodifikasi sedemikian rupa menjadi ritual budaya tahlilan yang kental dengan ritual peribadatan yang amat islami. Biar pun untuk hal-hal semacam itu, warga NU selalu menjadi sasaran kecaman kaum Islam Modernis yang berhaluan Wahabi.Kaum Wahabi selalu mencela hal itu dengan menuduhnya sebagai bid’ ah dan khurafat yang sesat dan tidak berguna.
Proses “penyiasatan” seperti itu, sebetulnya telah ada sebelum kedatangan para wali menyebarkan Islam di Indonesia. Ritual peringatan Maulid Nabi dengan pembacaan sholawat dalam kitab Al Barzanzi yang dilagukan secara bersama- sama misalnya, adalah tradisi ritual yang berasal dari inisiatif Salahuddin Al Ayyubi (Sekitar tahun 1100-1200 M), untuk menyalakan semangat juang tentara Islam.
Proses seperti itu terus berkembang, seiring dinamika budaya masyarakat yang amat dinamis. Dan pada akhirnya, ulama- ulama pesantren terus mengembangkan wacana pemikiran yang didasari hukum-hukum fikih sebagai landasan untuk menjawab tantangan-tantangan zaman yang kian komplek. Proses itu berlangsung terus menerus. Ulama pesantren pada akhirnya pun berhadapan dengan wacana-wacana baru yang terkadang terasa mengejutkan.Berangkat dari hal-hal semacam itu, maka pada akhirnya ulama pesantren menjadi terbiasa berfikir kritis, metodis dan sistematis dalam menghadapi wacana-wacana baru, termasuk wacana keilmuan modern yang berasal dari barat.