Lima tahun lagi, NU akan benar-benar genap satu abad mendampingi masyarakat Islam Indonesia. Catatan keberhasilan telah terbentang sangat panjang. Di sisi lain, juga mengemuka ragam kritik dan kekurangan peran NU sebagai imbas dari tuntutan dan harapan masyarakat yang semakin tinggi terhadap NU. Persoalan besar yang kini melanda NU adalah semakin terkikisnya peran NU sebagai benteng kebudayaan masyarakat pedesaan. Hal ini bisa terjadi mengingat tantangan masyarakat Islam Indonesia semakin kompleks dan kait mengait antara bidang satu dengan yang lain. Problem kebudayaan tidak lagi relatif independen dari bidang lainnya. Ia telah berkorelasi dengan persoalan politik, bahkan ekonomi dan ilmu pengetahuan.
Sejak tahun 1950-an, langgam NU nyaris tidak bisa dipisahkan dari situasi politik nasional. Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno yang didominasi oleh isu-isu politik, NU memposisikan diri sebagai salah satu kekuatan politik yang mewakili kepentingan Islam tradisional. Di masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang didominasi oleh isu-isu sentralisasi dan otoritarian, NU diposisikan sebagai organisasi keagamaan yang “wajib” dikontrol dan dihegemoni. Masa-masa menyulitkan ini kemudian memunculkan momentum besar NU pada tahun 1984 dengan wujud naskah Khittah NU, yaitu reorientasi perjuangan dengan menempatkan semangat NU 1926 sebagai “ruh” gerakan. Pada saat itu muncul kesadaran kolektif bahwa politik praktis telah menelantarkan bidang-bidang garapan NU lainnya, termasuk pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Dewasa ini masyarakat Islam Indonesia merasa dua kesulitan besar yaitu pendidikan dan ekonomi. Berarti secara otomatis di tingkat organisasi sosial keagamaan NU lamban dalam menjawab problem kemasyarakatan di bidang tersebut. Di bidang ekonomi NU belum bisa menjawab problem-problem di sektor pertanian, perikanan, perkebunan, perdagaangan yang dialami masyarakat kecil. Masyarakat nelayan kesulitan dengan bahan bakar solar, petani dicekik harga pupuk yang melambung, pedagang pasar tradisional terjepit hypermarket, dan persoalan lain yang belum mendapatkan solusi dari NU.
NU pun belum mampu menjawab secara konseptual tentang persoalan pertanian di mana lahan semakin sempit tetapi jumlah penduduk semakin bertambah. NU juga belum menjawab secara konseptual jurang menganga antara sistem kapitalisme barat yang telah menghegemoni dengan kondisi masyarakat Islam Indonesia yang secara ekonomi masih primitif.
Setidaknya sampai saat ini, NU masih belum memberikan jawaban-jawaban yang dapat dirasakan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara konseptual maupun praksis. Kondisi yang sama juga terjadi di bidang pendidikan. NU memang telah menjadi kekuatan dan faktor penentu ritme perubahan di bidang ilmu keagamaan. Pemikiran keagamaan NU memiliki otonomi relatif tertentu ketika berhadapan realitas. Otonomi relatifnya adalah otonomi yang merubah realitas sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang dipahami.
Pemikiran keagamaan NU pun tumbuh, berakumulasi, dan berputar dalam masyarakat sehingga menjadi wacana kultural masyarakat tersebut yang menyebar, memberi ciri dan membentuk dunia sosial, institusi, nilai, dan perilaku masyarakat Islam Indonesia. Hanya saja hal ini tidak terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di bidang ini terjadi keterputusan mata rantai dengan generasi sebelumnya. NU belum mampu meneruskan tradisi pemikiran yang telah dirintis oleh Jabir al-Hayyan, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibn Hazm al-Khawarizmi, al-Farabi, dan lainnya. Praksis NU sangat tertinggal dan belum mampu bergeser dari level konsumen ke level produsen.
Secara institusi, inilah potret riil kemandulan NU. Kedewasaan NU tidak diikuti oleh kemajuan bidang pendidikan dan penguatan ekonomi yang sebenarnya menjadi titik fokus bidang garapannya. Jika kita telisik lebih dalam lagi, LP Ma’arif, lembaga NU yang memfokuskan diri di dunia pendidikan, masih jauh dari harapan masyarakat dan jauh dari ideal untuk diposisikan sebagai pusat regulasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal yang sama juga tampak pada performance lembaga-lembaga perekonomian NU.