Islam liberal

Kurang lebih 30 tahun gerakan pemikiran model neo- modernisme berkibar  dan  mendapat tempat  dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa  dan  berganti  nama dengan  “Islam  liberal”.  

Istilah  “Islam  liberal”  sendiri  muncul di saat  Indonesianis  Greg  Barton  menyebutnya dalam  buku karangannya: Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Semenjak saat   itu,   istilah  tersebut   mulai  akrab   di  telinga  khalayak Indonesia. Sejak awal 2001,  publikasi mazhab  pemikiran yang disebut ”Islam liberal” itu memang  tampak  digarap  sistematis. Pengelolanya menamakan diri ”Jaringan  Islam Liberal” (JIL).

Sebelum lahir JIL, wacana  Islam liberal beredar  di meja- meja diskusi dan sederet kampus, akibat terbitnya buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard  Binder, dan Liberal Islam (Oxford, 1998) hasil editan Charles Kurzman. Istilah Islam liberal pertama  dipopulerkan Asaf Ali Asghar Fyzee, intelektual muslim India, pada 1950-an.

Kurzman sendiri mengaku meminjam  istilah itu dari Fyzee. Geloranya banyak  diprakarsai anak-anak  muda   usia,  20-35   tahun.   Untuk  kasus  Jakarta, mereka umumnya para mahasiswa,  peneliti, atau jurnalis yang berkiprah di beberapa lembaga.

Komunitas  itu  makin  mengkristal,  sehingga   pada   Maret 2001   mereka   mengorganisasikan   diri   dalam   JIL. Kegiatan awal dilakukan dengan  menggelar kelompok diskusi maya (milis). 

Sejak 25 Juni  2001,  JIL mengisi satu  halaman  Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya,  dengan  artikel dan wawancara seputar perspektif Islam liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan  wawancara langsung dan diskusi interaktif dengan para  kontributor  Islam liberal, lewat kantor  berita  radio  68 H dan 10 radio jaringannya.  Situs: islamlib.com diluncurkan, dua pekan kemudian.  

Beberapa nama  pemikir muda,  seperti Luthfi Assyaukanie (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar- Abdalla (Lakpesdam  NU), dan  Ahmad  Sahal (jurnal Kalam), terlibat dalam pengelolaan JIL. Luthfi Assyaukanie, editor situs islamlib.com, menyatakan bahwa  lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya  ”ekstremisme” dan ”fundamentalisme” agama di Indonesia. Itu ditandai  oleh munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi   ”Islam   militan”,   serta   penggunaan  istilah   ”jihad” sebagai  dalil serangan.   Luthfi  memaknai   istilah Islam liberal sebagai   identitas   untuk   merujuk   kecenderungan  pemikiran Islam modern  yang kritis, progresif, dan dinamis.”

Post-Tradisionalisme

Istilah postra  kali pertama  muncul ketika ISIS (Institute for Social  and  Institutional  Studies),  sebuah   LSM yang  dikelola anak-anak muda  NU  di  Jakarta,   menyelenggarakan  sebuah diskusi untuk mengamati  munculnya gairah baru intelektual di kalangan anak  muda  NU pada  Maret 2000  di Jakarta.  Gema dari wacana ini terus meluas terutama  setelah LKiS menjadikan “postra” sebagai landasan ideologisnya dalam strategis planning pada  Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta.

Ideologi itu pula yang kemudian  menjadi  judul buku  terjemahan Ahmad  Baso  atas sejumlah artikel Muhammad Abed  al-Jabiri.Dua aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman memberi sedikit “muatan” dengan  menerbitkan  buku berjudul Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000).   

ISIS   kemudian    menerbitkan sebuah   bulletin  yang  diberi  nama   “Postra”.   Wacana   postra semakin matang  ketika Lakpesdam  NU melakukan kajian yang agak serius mengenai  tema ini dalam Jurnal Taswirul Afkar No. 9 tahun  2000.  Setelah itu, postra  telah benar-benar menjadi wacana   publik  dan   banyak   diperbincangkan  orang   dalam berbagai  diskusi, seminar dan juga liputan media massa.

Beberapa faktor yang turut berperan dalam mendorong gerakan intelektual anak muda NU yang kemudian  mengkristal dalam komunitas postra:

  • Faktor  perkembangan  politik.Faktor  ini  menjadi   penting karena    dinamika    sejarah    NU,   baik   secara    struktural maupun   kultural   banyak    dipengaruhi    dan   ditentukan oleh faktor perkembangan politik. Keputusan  kembali ke khittah 26 pada  1984 yang sangat dipengaruhi  oleh proyek restrukturisasi   politik   orde    baru    ternyata    mempunyai makna signifikan bagi gerakan sosial-intelektual NU (social- intellectual movement)  di lingkungan NU. Perubahan peta politik nasional yang  terjadi  pada  1998  juga  mempunyai imbas pada komunitas NU. Di satu pihak ada gerakan politik demikian kuat yang antara  lain ditandai  dengan  berdirinya PKB dan beberapa parpol yang berbasis massa NU, namun di  pihak  lain  sebagian   kecil  anak  muda,   terutama   yang menjadi aktifis LSM, tetap menjaga  jarak dengan  kekuatan politik sembari tetap melakukan gerakan  sosial-intelektual.
  • Munculnya arus intelektualisme progresif di belahan dunia Arab turut mendorong dan memberi inspirasi semangat intelektualisme postra.Bahkan wacana  yang dikembangkan sedikit banyak  merupakan tema-tema yang  diangkat  dan menjadi perbincangan intelektual di kalangan mereka adalah tema-tema sebagaimana terdapat  dalam karya tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Muhammad ‘Abed al-Jabiri, dan sebagainya.

Post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU dapat dipahami  sebagai  gerakan  “lompat tradisi”.Gerakan ini berangkat   dari   tradisi  yang   diasah   secara   terus   menerus, diperbarui  dan mendialogkannya dengan  modernitas.  Dari sini kemudian  lahir “loncatan tradisi” menuju  pada  sebuah  tradisi baru  (new tradition)  yang sama  sekali berbeda dengan  tradisi sebelumnya.

Dari satu sisi memang  terjadi kontinuitas,  namun di  sisi  yang  lain  juga  terjadi  diskontinuitas   dari  bangunan tradisi  sebelumnya. Tradisi  baru  ini biasanya   diikuti dengan “liberalisasi pemikiran” yang seringkali berisi gugatan  terhadap tradisinya  sendiri  (ego,  al-âna) maupun tradisinya  orang  lain (the others, al-âkhar).

Satu  hal  yang  perlu  dicatat,  gerakan   tersebut  berangkat dari   kesadaran  untuk   melakukan  revitalisasi  tradisi,   yaitu sebuah  upaya  untuk  menjadikan  tradisi (turâst) sebagai  basis untuk melakukan transformasi.Dari sinilah komunitas postra bertemu   dengan   pemikir  Arab  modern   seperti  Muhammad Abed al-Jabiri dan  Hassan  Hanafi yang mempunyai apresiasi tinggi atas tradisi sebagai basis transformasi.Dengan demikian, post-tradisionalisme Islam menjadikan  tradisi sebagai basis epistimologinya, yang ditransformasikan secara meloncat, yakni pembentukan tradisi baru  yang  berakar  pada  tradisi miliknya dengan  jangkauan  yang  sangat  jauh  untuk  memperoleh etos progresif dalam transformasi dirinya.

Akhirul Kalam

Gerakan pemikiran keislaman yang berkembang di Indonesia dewasa  ini ternyata  tidak bisa dilepaskan dari dua  arus utama pemikiran yang telah berkembang lebih dulu: Islam tradisionalis dan Islam modernis. Perkembangan itu juga memiliki keterkaitan dengan  perkembangan pemikiran  di belahan dunia  yang lain, terutama  di Timur Tengah  dan  Arab pada  umumnya. Kondisi sosial-politik di Indonesia dan  situasi sosial-politik global turut punya  andil dalam menumbuh-suburkan berbagai  pemikiran keislaman dan terutama  gerakan  keislaman tersebut.

Karena   keterbatasan  ruang,   corak   Islam  fundamentalis belum diurai dalam makalah ini. Dalam banyak literatur corak ini lebih dimasukkan  dalam gerakan  Islam bukan pemikran  Islam, yang  kompleksitasnya  tidak  kalah  seru. Mestinya  juga  masih ada  yang  lain, yaitu  pemikian  Islam posmodernis dan  Islam transformatif, mudah-mudahan di lain kesempatan. Tetapi yang jelas, kedalaman pemahaman atas peta pemikiran dan gerakan keislaman tentu sangat menentukan, jika seseorang  akan memasuki diskursusnya. Tanpa itu, hanya akan menjatuhkannya pada keberpihakan yang sempit, mungkin sikap yang pragmatis juga. Maka, sekalipun ini pemikiran,  belajar sejarah  pemikiran tetap  penting,  agar  menjadi  tercerahkan dan  akhirnya  dapat mencerahkan.