Akulturasi pemikiran semacam itu terus berkembang di segala bidang, termasuk dalam bidang politik di mana NU menjadi tidak asing lagi dengan isue-isue mengenai demokratisasi dan Hak-hak Asasi Manusia, misalnya.
Dalam wacana politik, NU telah menemukan momentum paling tepat yang ditandai dengan peristiwa amat bersejarah bagi NU, yaitu saat berlangsungnya Muktamar NU di Situbondo yang menghasilkan keputusan penting yaitu NU kembali ke Khittah 26. Dalam peristiwa itu, NU adalah organisasi Islam pertama yang menerima Asas Tunggal Pancasila.
NU menarik diri dari kegiatan politik praktis yang semula bergabung dan menjadi pendukung utama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan back to basic menjadi organisasi sosial yang mengurusi masalah agama, dakwah dan sosial. Politik bagi NU adalah politik bukan dalam arti sempit seperti hanya berkecimpung dalam politik praktis. Tetapi, arti politik bagi NU adalah peneguhan kembali kelangsungan berpolitik secara sangat luas sebagai upaya praktik nilai-nilai Islam sebagai agama rakhmatan lil alamiin.
Itu berarti, pada akhirnya terbukti bahwa Khittah 26 juga memberi landasan yang lebih leluasa kepada kegiatan dakwah NU karena dengan demikian dapat diartikan pula sebagai strategi para ulama mengambil jarak, sekaligus tidak banyak lagi berbenturan dengan pemerintah karena NU telah bertekad menjauh dari kegiatan politik yang tujuan akhirnya hanyalah mengincar kursi kekuasaan. Sejak saat itu, NU di bawah kepemimpinan Gus Dur semakin terlihat sebagai lokomotif utama gerakan penguatan masyarakat sipil (civil society).
Moment Muktamar Situbondo itu disamping disambut dengan suka-cita oleh segenap kaum nahdliyin, juga oleh merintahan rezim Orde Baru yang untuk sementara bisa bernafas lega karena NU sebagai organisasi massa yang mempunyai pengikut lebih dari Empat Puluh Juta orang lebih telah menyatakan tidak berpolitik praktis. Itu berarti, harapan bagi partai utama pendukung pemerintah waktu itu yaitu Partai Golkar untuk dapat meraih suara lebih banyak dari warga NU yang otomatis menjadi massa mengambang (floating mass) karena NU telah memisahkan diri dengan PPP. Andree Feillard, seorang pengamat NU, menyebut peristiwa itu sebagai momen rekonsolidasi organisasi NU yang membentuk pola hubungan yang lebih baik antara NU dan pemerintah (Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, Lkis Yogyakarta, 1999)
Tetapi, kelegaan rezim Soeharto tidak berlangsung lama.NU kembali terasa menjadi kekuatan oposisi utama terhadap rezim Orde Baru. Para ulama dan massa NU di bawah pimpinan Gus Dur kembali terlihat sebagai kekuatan kritis yang berani mengambil resiko dengan bersikap vokal kepada berbagai kebijakan praktik politik rezim Soeharto yang otoriter. NU di bawah Gus Dur justru malah semakin kuat menjadi kelompok penekan yang mendapat dukungan dari massa NU yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dukungan terhadap Gus Dur bukan hanya datang dari warga NU dengan para ulama dan pesantrennya serta tokoh-tokoh pro demokrasi, tetapi juga dari kelompok-kelompok minoritas dari agama-agama lain yang ada di Indonesia.Gus Dur adalah tokoh penganjur pluralisme dan toleransi umat beragama.
NU dengan massa yang amat besar jumlahnya, menjadi backing utama gerakan civil society yang dikomando oleh Gus Dur. Sepak-terjang Gus Dur bersama tokoh-tokoh pro demokrasi di tahun 1991 yang mendirikan Forum Demokrasi (sebagai kekuatan tandingan terbentuknya ICMI oleh para tokoh-tokoh Islam yang berhasil diperalat rezim Orde Baru) dirasakan semakin mengancam kedudukan Soeharto.
Dengan berbagai cara Soeharto terus menekan Gus Dur. Tetapi, Gus Dur tetap kukuh melaju sebagai tokoh demokrasi sehingga akhirnya gerakan pro demokrasi yang didukung rakyat berhasil mengakhiri dominasi kekuasaan Orde Baru.
Berakhirnya kekuasaan Soeharto menjadikan pintu masuk proses demokratisasi di Indonesia yang selama ini diperjuangkan Gus Dur menjadi semakin terbuka. Hal itu pula dapat menjadi contoh sebuah kilas-balik perjalanan pemerintahan di Indonesia sejak era dimulainya kerajaan Islam di pulau Jawa yang nantinya berpengaruh amat besar bagi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia moderen yang demokratis.
Pernah ada keadaan di mana para ulama mengambil peran sangat signifikan dalam kehidupan negara dan pemerintahan, yaitu di masa awal berdirinya kerajaan Demak Bintoro di tahun 1478 M. Ketika itu, musyawarah Wali Songo sepakat mengangkat Raden Fattah, yang merupakan keturunan Brawijaya raja Majapahit, menjadi sultan di kerajaan Demak.
Dalam perjalannya, pemerintahan Kerajaan Demak dipandang telah berhasil mencerminkan ciri-ciri negara demokrasi karena dalam memerintah, raja diangkat, diawasi dan dikontrol oleh Wali Songo sebagai pihak otonom yang dipercaya dapat menampung aspirasi rakyat. Raja selalu berkonsultasi kepada para ulama, terutama kepada Wali Songo dalam memutuskan hukum yang ada.Sistem pemerintahan demikian, dengan sendirinya telah mencerminkan “substansi” sistem pemerintahan demokrasi moderen, yaitu adanya keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila ada sementara ahli yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan Kerajaan Demak Bintoro adalah sistem pemerintahan paling demokratis yang pernah ada di Indonesia, bahkan bila dibandingkan dengan sistem pemerintahan Indonesia moderen era Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno dan era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto (WS. Rendra: Teks Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki tahun 1995).
Baru di tahun 1999, sistem demokrasi kembali benar- benar berjalan dengan ditandai pemilihan presiden paling demokratis setelah sekian lama Indonesia berdiri, dengan terpilihnya seorang presiden yang juga ketua NU yang bernama KH. Abdurrakhman Wakhid atau Gus Dur. Dalam hal ini, bila kita mengacu kepada pemikiran WS. Rendra di atas tersebut, maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa pemerintahan paling demokratis di Indonesia adalah pada masa pemerintahan kerajaan Demak yang dikontrol oleh para ulama di tahun 1478 M sampai vakum selama Lima Ratus Tahun kemudian hingga munculnya Gus Dur sebagai presiden pertama yang diangkat secara paling demokratis dalam sejarah berdirinya negara Indonesia modern.
Raden Fattah dan KH.Abdurrakhman Wahid atau Gus Dur adalah contoh figur seorang santri pesantren yang kemudian masing-masing menjadi seorang raja dan presiden. Raden Fattah adalah keturunan Majapahit yang belajar agama di pesantren Sunan Giri di Gresik. Sementara, Gus Dur adalah cucu pendiri NU, KH.Hasyim Asy’ ari yang waktu mudanya menjadi santri di pesantren Krapyak, Tegalrejo serta Tambak Beras, Jombang. Raden Fattah adalah peletak dasar kerajaan Islam di Pulau Jawa. Sementara Gus Dur, disamping sebagai seorang ulama juga adalah tokoh demokrasi, Hak Asasi Manusia serta humanisme dan pluralisme yang paling penting dalam sejarah Indonesia.
Pergulatan pemikiran para kyai NU yang telah berhasil menghasilkan rumusan-rumusan pemikiran jauh ke depan dalam bidang kenegaraan dalam hubungannya dengan tanggapan terhadap nilai-nilai baru seperti demokrasi, HAM, pluralisme, humanisme dan berbagai isme-isme mutahir lainnya seperti contoh di atas itu, adalah hasil kajian terus menerus teks-teks Islam klasik dalam upaya mencari dasar jawaban berbagai macam produk pemikiran mutahir.
Bermula dari upaya menyandingkan kaidah fikih secara harmonis dengan produk-produk budaya lokal yang telah mapan, kemudian melahirkan gerakan kultural yang amat progresif sehingga melahirkan lompatan-lompatan gagasan yang brilian.Dengan demikian, semangat kultural NU yang mendasari gerakan da’ wah semakin mudah diterima keberadaannya di masyarakat Indonesia yang amat plural dan beragam.
Apa yang mendasari semangat para ulama NU dalam mengkaji permasalahan agama di satu sisi serta produk budaya masyarakat tertentu di sisi lain, adalah semangat kearifan mengambil kemaslahatan dalam setiap dilema permasalahan yang ada serta memakai salah satu kaidah logika: konteks sangat menentukan bangunan hukum yang akan terbentuk.
Ibnu Abididin di dalam risalahnya Nasir al-‘Urf Fiy Ma Bana Min al-Ahkam ‘Ala al -‘Urf (Penyebaran Tradisi dalam Hukum- hukum yang Dibangun Berdasarkan Tradisi) mengatakan: “Banyak sekali hukum-hukum berubah oleh karena perubahan zaman yang disebabkan perubahan tradisi masyarakatnya, atau karena terjadinya kedaruratan atau karena rusaknya generasi suatu zaman. Di mana jika hukum tetap sebagaimana apa yang ada sebelumnya, maka akan terjadi kesulitan dan kerusakan di tengah masyarakat. Dan, akan menyalahi kaidah-kaidah syariat yang dibangun di atas asas peringanan dan pemudahan dan menghindari kerusakan dan kerugian” (Dikutip dari Jurnal Tashwirul Afkar PP Lakpesdam NU).
Teks-teks seperti itu adalah salah satu contoh kaidah yang sering dipakai oleh para ulama dan menjadi pergulatan pemikiran para santri di pesantren sehingga kemudian lahirlah banyak sekali pemikiran-pemikiran yang mendasari keputusan dalam konteks kenegaraan, sosial, politik maupun kebudayaan.Tradisi yang terasa dinamis dan progresif itu menemukan masa puncaknya sejak NU dipimpin oleh Gus Dur.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, telah lahir tokoh-tokoh ulama sekaligus intelektual NU yang berlatar belakang pesantren seperti KH. Said Agil Siradj, KH. Masdar F Mas’ udi, KH. Muhammad Hussein maupun tokoh-tokoh yang lebih muda lain yang telah siap membentengi NU dari arus tradisi pemikiran dan filsafat barat kontemporer yang semakin menjauh dari nilai-nilai Islam.
Pemikiran-pemikiran mereka yang humanis dan membumi, semakin menguatkan posisi NU sebagai pengawal Pancasila dan UUD 45 sebagai falsafah dan dasar hukum utama negara Republik Indonesia.Para ulama NU telah menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia secara final. Ulama, pesantren, intelektual serta massa NU adalah penjaga utama kehidupan bernegara yang kini kadang terasa terancam oleh banyaknya gerakan-gerakan yang bertujuan memecah- belah NKRI dengan berbagai macam alasan, termasuk salah satunya ancaman radikalisme dan terorisme dari gerakan-gerakan Islam garis keras yang sering membuat kekacauan dengan mengatas-namakan agama.