Bukan menjadi hal asing lagi bagi umat manusia, khususnya di Indonesia, mengenai pandemi covid 19 ini.
Mengapa dinamakan dengan istilah pandemi?
Karena wabah disini telah menyebar hampir di negara-negara seluruh dunia. Dampaknya pun tidak ringan dan telah mematikan banyak umat di muka bumi ini. Wabah Virus Corona ini muncul di Indonesia sekitar awal Bulan Maret 2020, dan pemerintah pun mulai mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru.
Tak hanya itu, para tim medis juga menjadi pejuang keras dalam masalah ini karena turut membantu para warga masyarakat yang terpapar oleh virus. Di sisi lain, berbagai jenjang dalam lembaga pendidikan juga memberhentikan sistem pengajaran seperti biasanya, dan melakukan pembelajaran online mulai dilakukan.
Demikian pula pesantren-pesantren di nusantara ini juga telah memulangkan ratusan bahkan ribuan santrinya, demi kemaslahatan bersama dan lebih menjaga kesehatan para santri.
Dampak yang terjadi diantaranya diberlakukannya social distancing/physical distancing hingga program PSBB di Indonesia. Membuat antar warga tidak lagi berdesakan dan berkerumunan di tempat keramaian, namun tetap masih saja ada beberapa warga yang melanggarnya.
Jika dilihat dalam ranah keislaman, sebenarnya sangat banyak manfaat dan hikmah yang bisa dipetik oleh setiap umat manusia dari kejadian pandemi ini, dan justru peristiwa ini bukanlah menjadi sesuatu untuk ditakuti sepenuhnya.
Seperti pepatah dari Pakar Kedokteran Islam, yakni Ibnu Sina, mengatakan “Kepanikan adalah separuh dari penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan”.
Maka dari itu, kita sebagai umat Islam harus tetap bersikap positif dalam masa pandemi ini, misalnya dengan meningkatkan muhasabah, tazkiyyatunnafs, dan melakukan hal-hal produktif didalam rumah.
Dan hal ini pula, sama sekali tidak menjadi penghalang antar ummat untuk bisa saling berkomunikasi. Apalagi mengingat zaman di era globalisasi ini, berada dalam era industri 4.0 yang mana teknologi sudah menjadi hal penting dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam masa krisis seperti ini, sebaiknya bisa saling mengingatkan antar masyarakat untuk bisa lebih menjaga rasa persaudaraannya, karena tidak semua manusia bisa menyempatkan waktu berfikir kemajuan akan masa depan bangsa.
Suatu wilayah atau bangsa bisa terjaga dengan baik kesatuannya tergantung pada komunikasi dan kekuatan solidaritas antar warganya. Jika sudah muncul doktrin-doktrin negatif yang dapat memecahkan kesatuan warganya, maka untuk membangkitkan kembali sportivitas dari setiap jiwa manusianya, bukanlah menjadi hal yang mudah lagi.
Begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, semua umat manusia dianjurkan untuk tetap menjaga ukhuwahnya satu sama lain.
Menurut sebagian besar Ulama’ yang masyhur dan telah diketahui oleh banyak kalangan, mengenai konsep ukhuwah dalam macamnya ada 3 yaitu Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan bangsa) dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan umat manusia).
Dianjurkan untuk bisa menjaga dan menjalin tali silaturrahimnya dengan baik, karena kita sebagai manusia yang hidup memiliki tanggung jawab yang tidak sedikit. Dalam hal ini kita sama-sama perlu mengunggulkan hablunminallah juga hablunminannasnya, untuk menyeimbangkan amalan kita didunia juga diakhirat kelak.
Mengapa kita dianjurkan untuk menjalin ketiga ukhuwah diatas?
Karena kita hidup di dalam Indonesia yang mayoritas besar adalah pemeluk agama Islam, dan kita perlu adanya toleransi kepada sesama manusia meskipun bukan beragama Islam.
Indonesia adalah negara yang kaya akan suku dan budayanya, beragam perbedaan ada didalamnya, namun perbedaan bukanlah suatu alasan untuk tidak bersatu. Justru dari adanya perbedaan inilah, setiap manusia bisa mempelajari akan begitu banyaknya nikmat Allah yang diberikan kepada hambaNya dan semakin memperkuat iman akan kebesaran Tuhan.
Seperti dalam riwayat Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Risalah Al-Asy’ariyyah dan Nashr al-Maqosidi, bahwa Nabi pernah berkata “Perbedaan umatku adalah rahmat”, namun hadis ini masih belum ada kejelasan hadisnya sebab tidak memiliki sanad.
Dari perkataan tersebut, bisa kita ambil hikmah bahwasanya kita harus tetap mempertahankan kesatuan bangsa kita dengan tetap saling berkomunikasi satu sama lain, menjaga keutuhan bangsa ini dengan menjunjung rasa persaudaraan.
Mengaitkan dengan kehidupan dalam kawasan pesantren, jarak hanyalah sebagai jeda setiap insannya supaya dapat lebih memahami bahwa begitu nikmatnya sebuah pertemuan, khususnya dengan para masyayikh dan para guru yang telah banyak memberikan petuah kehidupan.
Berkumpul dalam satu majlis dengan para orang Alim adalah suatu nikmat besar yang sebenarnya siapa saja bisa mendapatkan dan merasakannya, namun tidak semua orang memiliki keinginan tersebut. Jarak fisik dan geografis tidak akan memutuskan hubungan emosional dan spiritual antara kyai dan santri.
Dalam lembaga pendidikan khususnya pesantren, tidak ada istilah yang namanya bekas guru ataupun bekas murid. Siapapun orangnya, jika telah mengajarkan kepada orang lain walaupun hanya satu huruf, ia telah menunaikan kewajibannya untuk mendakwahkan suatu kebaikan.
Bagi seorang murid atau santri, para Kyai dan guru tetaplah menjadi pembimbing seumur hidup, karena beliau bukan hanya mengajarkan suatu ilmu dhohir atau keintelektualan, namun juga mentransfer ilmu kebathinannya.
Terlebih seorang kyai yang jelas memiliki nasab dan sanad keilmuan yang baik, semuanya diberikan dengan penuh keikhlasan. Rasa ikhlas, sabar, dan selalu bisa memuhasabah diri itulah termasuk beberapa contoh ilmu kebathinan yang diberikan secara tidak langsung oleh para guru, untuk bekal berinvestasi di akhirat.
Sedangkan bagi seorang guru atau kyai hal demikian sudah menjadi tugasnya, yakni “nasyrul ilmi wa da’watul islam” yang artinya menyebarkan ilmu dan mengajak pada kebaikan, mendakwahkan nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, harapan para guru dan kyai adalah semoga para santri/murid untuk tetap mengingatnya dan selalu mendoakannya, karena doa juga termasuk salah satu usaha kita dalam menjaga ukhuwah.
Seperti kisah salah satu kyai yang juga menjadi penyair di Indonesia ini, yaitu K.H. Mushtofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus. Beliau termasuk sosok magnetis yang bisa menarik siapapun untuk memperhatikannya, wibawa, ramahnya, juga tidak tertinggal dengan puisi-puisinya yang selalu menarik perhatian bagi siapapun yang memandangnya. Dimata para santri, beliau adalah guru yang setia, bijak, welas asih, tidak otoriter dan juga suka bersilaturrahim.
Ketika berkunjung pada suatu wilayah dimana beliau mendakwahkan suatu kebaikan atau mendapat undangan dari beberapa tempat, selalu beliau sempatkan untuk mendatangi atau menghampiri para santrinya di waktu dulu yang berada di daerah tersebut.
Hal ini menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi para santri dan juga mendapat kehormatan. Disinilah salah satu bentuk keramahan antara guru dan murid yang masih tersambung ikatan bathinnya meskipun secara dhohir terpisahkan oleh jarak dan waktu.
Memperkuat rasa persaudaraan tidaklah hanya antara guru dengan murid, namun juga tiap manusia dengan manusia lainnya seperti tetangga, saudara, teman, dll sekalipun orang lain itu bukanlah pemeluk agama Islam.
Karena dalam Islam, kita selalu dianjurkan untuk bersikap toleran kepada pemeluk agama lain juga, dengan catatan tetap menjaga keimanan diri sendiri, terlebih akan juga beruntung jika non muslimnya ingin menjadi muallaf.
Sangat banyak manfaat dan hikmah yang bisa di pelajari dari mulai munculnya rasa ukhuwah, menjaga sampai bisa memperkuat kembali ketika rasa persaudaraan mulai merenggang.
Dari setiap kejadian, akan lebih menyadarkan tiap manusia akan pentingnya menjaga ukhuwah ini, meningkatkan rasa cinta/hubb kita pada Sang Kholiq, juga menunaikan kewajiban setiap muslim untuk menjaga persaudaraannya, dan masih banyak manfaat lainnya.
Menunaikan kewajiban bukan berarti sudah lepas dan gugur dari tanggung jawab. Seperti yang pernah di dawuhkan oleh K.H. Jalal Suyuthi “Kalau kita sudah senang dan tenang dengan hanya melakukan kewajiban, berarti kita belum ihsan.” Maka dari itu, umat Islam diperintah untuk amar ma’ruf nahi munkar kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun.
Jangan pernah memiliki dendam kepada sesama manusia, karena dalam pepatahpun mengatakan “bencilah perbuatannya (kesalahan), tetapi jangan membenci orangnya” dan juga jangan terlalu sering memendam amarah kepada siapapun. Dalam Kitab Al-Hikam, Ibn Athoillah, pasal 28 mengatakan “Apa yang tersimpan dalam kegaiban hati, akan terkuak dalam penampilan dhohir”, dan Allah Maha Tahu apa yang terjadi dalam prasangka hambaNya.
_
Penulis bernama asli Nasikhatul Karimah. Mahasiswi yang sempat menimba ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo ini lahir di kota yang berjuluk Kota Batik, Pekalongan.